Alasan di Balik Deklarasi
Presiden Yoon menyebut oposisi politik sebagai “kekuatan anti-negara” yang berusaha menggulingkan pemerintah. Keputusan ini muncul di tengah meningkatnya aksi mogok kerja dari kelompok profesional seperti dokter dan protes dari oposisi yang menuntut perubahan kebijakan. Namun, pihak oposisi dan kelompok masyarakat sipil menilai alasan ini dilebih-lebihkan dan mencurigai langkah tersebut bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan di tengah popularitas presiden yang menurun hingga 22%.
Tindakan di Bawah Darurat Militer
Begitu diberlakukan, sejumlah pembatasan diterapkan, seperti larangan protes, sensor media, penerapan jam malam, dan perintah kerja wajib bagi pekerja yang mogok. Tentara terlihat berpatroli di kota-kota besar, termasuk Seoul dan Busan, menandakan pengawasan langsung oleh militer.
Reaksi Publik dan Politik
Pemberlakuan darurat militer justru memicu protes lebih besar, dengan ribuan orang turun ke jalan di Seoul membawa slogan-slogan menentang pemerintahan otoriter. Di tingkat politik, parlemen Korea Selatan secara cepat mengadakan sidang darurat dan dengan suara mayoritas mencabut status darurat militer hanya dalam waktu enam jam setelah pemberlakuannya. Bahkan anggota partai pemerintah ikut mendukung pencabutan ini, menunjukkan penolakan luas.
Dampak Internasional
Negara-negara sekutu seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang mengungkapkan keprihatinan mendalam atas langkah ini. Banyak yang menilai keputusan tersebut merusak reputasi Korea Selatan sebagai negara demokrasi yang kuat.
Imbas Setelahnya
Meskipun darurat militer dicabut, dampak politik dan sosialnya masih terasa. Oposisi segera mengajukan mosi pemakzulan terhadap Presiden Yoon, sementara dukungan publik terhadapnya jatuh ke level terendah sepanjang sejarah, yakni 15%. Peristiwa ini juga memicu diskusi mengenai pembatasan kekuasaan eksekutif dalam menerapkan kebijakan serupa di masa depan.
Pelajaran dari Krisis Ini
Insiden ini menunjukkan bagaimana demokrasi Korea Selatan tetap kokoh menghadapi tantangan besar, meskipun sempat terancam. Respons cepat dari masyarakat dan parlemen menegaskan pentingnya suara rakyat dalam menjaga hak asasi manusia dan kebebasan sipil. Namun, kejadian ini juga menjadi pengingat akan rentannya institusi demokrasi terhadap penyalahgunaan kekuasaan.
Sebagai salah satu krisis politik terbesar di Asia pada 2024, kasus ini menjadi studi penting dalam hubungan antara kekuasaan negara dan hak warga negara. Bagi Korea Selatan, ini adalah pelajaran pahit tetapi penting dalam memperkuat demokrasi di masa depan.